Pada bulan Maret tahun 2011, saya berkunjung ke kota Shanghai, mendampingi istri yang saat itu berjuang untuk ujian gelar masternya. Perjalanan melelahkan kami tempuh selama 9 jam dengan pesawat GA tipe terbaru (saat itu), Boeing 777-300ER. Karena kondisi cuaca di kota tujuan sedang berkabut tebal, perjalanan kami dialihkan ke FuZhou, 800km sebelum Shanghai.
![]() |
"kacang, permen, aquanya bapak, ibu, ada yang masih mau? - :p" |
Selama berada di FuZhou, semua penumpang harus tetap berada di dalam pesawat, sejak saat landing jam 08:00am sampai pesawat diberangkatkan kembali pada pukul 1:30pm, hanya dengan perbekalan sisa sisa snack dari jakarta seperti kacang dan air kemasan. Sungguh perjalanan yang melelahkan! Selama 15 jam menunggu di dalam kabin yang bertambah panas, Kru penerbangan yang biasanya cantik-cantik dan ganteng-ganteng juga udah gak karuan lagi bentuknya :D.
![]() |
Keretanya penuh-sesak, persis sama seperti Jakarta |
Kami mendarat di Shanghai sekitar pukul 2:30pm. Dari bandara Pudong, kami melanjutkan perjalanan dengan kereta cepat Maglev dari bandara ke tengah kota, disambung dengan kereta subway (metro) menuju hotel Blue Mountain, di jantung kota Shanghai yaitu East Nanjing Road. Meskipun di dalam kereta saat itu penuh sesak, berjubel, sama persis dengan Jakarta, karena lega akhirnya bisa sampai Shanghai, kami tidak terlalu merasakan keramaian tersebut. Banyak cerita menarik yang kami temukan selama berada di kota ini.
Shanghai merupakan kota megapolitan di daratan Cina yang menyamai megapolitan
lainnya seperti New York dan Tokyo. Pada era tahun 1900an, sebagai kota pusat perekonomian Cina. Setelah
berakhirnya era tirai bambu, Shanghai kembali menunjukkan
eksistensinya sebagai sebuah kota megapolitan, dengan pergeseran pusat
pertumbuhan yang tadinya berada di area Bund, kini perkantoran dan pusat
bisnis dengan gedung-gedung pencakar langit menempati lahan-lahan di kawasan
Pudong yaitu di distrik Lujiazui yang terletak di seberang distrik Bund,
dipisahkan oleh sungai Huangpu.
Kota Shanghai sebagai
megapolitan internasional merupakan kota yang ramah untuk orang asing/wisatawan. Tulisan
latin berbahasa inggris ada dimana-mana sehingga keberadaan sebuah tempat
menjadi lebih mudah dijumpai bagi
orang asing. Dengan dibangunnya prasarana
subway secara serentak (seluruh
penanda –signage- di subway juga berbahasa inggris) membuat
kota Shanghai lebih mudah diakses.

Hal ini didorong oleh gaya
hidup penduduk Cina yang tidak konsumtif, irit dan tertib dalam mengatur
manajemen keuangannya. Banyak landlord/pemilik
lahan di tengah kota yang ternyata memilih tinggal di daerah pinggiran dan
membiarkan tanah atau lahan-lahan milik mereka disewa pihak lain untuk
mendapatkan income. Kota Shanghai
berkembang dari kota industri menjadi megapolitan. Kondisi udara di kota yang
mempunyai banyak pabrik-pabrik dan industri ini termasuk memprihatinkan,
berkabut dan kering, dengan awan hitam di atas kota hasil dari polusi industri.
Setelah mengalami
transformasi dari kota industri menjadi megapolitan, kawasan Shanghai barat
yang meliputi distrik Pudong dan sekitarnya dibangun dengan konsep tata ruang
kota yang modern tetapi tetap berpegang pada prinsip kelokalan, khususnya fengshui, yang Hal dapat dilihat dari
bentuk kumpulan massa bangunan-bangunan pencakar langit yang membentuk
transformasi sebuah gunung. Prinsip fengshui telah diterapkan dengan
baik di kota ini. Modernisasi dan perkembangan jaman tidak
menjadikan masyarakatnya lupa akan prinsip-prinsip dasar ilmu fengshui yang sudah berkembang
secara turun temurun.
2 komentar:
itu mbak-mbak pramugarinya kasian pak, mek-ap nya dah luntur~! hihi :D
Di Shanghai banyak copet nggak pak?
Posting Komentar